- Yayasanfkaai@gmail.com
- Mon - Sat: 09.00 am - 04:00
- Find us
Phone 202 303 405
Notice: Test mode is enabled. While in test mode no live donations are processed.
Ngaji Syarah Waraqat, Bab Al-Af’alu (perbuatan Nabi), Lapas Cikeas, 9 Desember 2022
Ustad Sofyan Tsauri
Di dalam Syarah Waraqat dan Hasyiyah Dimyati halaman 13 di luar kotak paling bawah di sebutkan bab
Beberapa perbuatan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
Perbuatan dari pemilik (penyampai) syariat, yakni Nabi Muhammad saw tidak lepas adakalanya dilakukan sebagai pendekatan diri dan ketaatan, atau tanpa ada unsur semacam ini. Jika perbuatan tsb sebagai pendekatan diri dan ketaatan
Beberapa perbuatan secara khusus pemilik syari’at
manakala ditemukan dalil yang mengkhususkan bagi Nabi, maka diarahkan khusus bagi Nabi. Seperti Nabi saw menikahi lebih dari empat istri.
Penjelasan
Contoh perbuatan hanya khusus bagi Nabi di dalam Hadist riwayat Bukhari, Muslim dan Turmudzi
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari puasa wishal. Ada seorang muslim yang menyanggah Rasul, “Sesungguhnya engkau sendiri melakukan puasa wishal?” Rasul pun memberikan jawaban, “Siapa yang semisal denganku? Sesungguhnya aku di malam hari diberi makan dan minum oleh Rabbku.” Lantaran mereka tidak mau berhenti dari puasa wishal, Nabi berpuasa wishal bersama mereka kemudian hari berikutnya lagi. Lalu mereka melihat hilal, beliau pun berkata, “Seandainya hilal itu tertunda, aku akan menyuruh kalian menambah puasa wishal lagi.” Maksud beliau menyuruh mereka berpuasa wishal terus sebagai bentuk hukuman bagi mereka karena enggan berhenti dari puasa wishal. (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1965 dan Muslim no. 1103).
Kenapa Hukum Puasa Wishol di harankan
1- Puasa wishal terlarang . Hikmah larangannya karena dapat mendatangkan dhoror (bahaya), melemahkan badan dan dapat mendatangkan kejemuan. Bahkan karena menyambungkan puasa dengan hari berikutnya dapat mengganggu aktivitas ibadah harian seperti shalat yang diperintahkan untuk disempurnakan dan memperbanyak membaca Al Qur’an.
Mengenai hukum puasa wishal, para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat sebagai berikut:
Pendapat pertama: Puasa wishal diharamkan Inilah pendapat mayoritas ulama yaitu madzhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i. Ibnu Hazm juga menegaskan akan haramnya. Di antara dalilnya hadits yang dikaji kali ini, karena kalimat Laa Tuwashilu yang di riwayatkan Turmudzi adalah kalimat Nahi yang bersifat mutlaq berarti
Bermula larangan yang mutlak menghendaki ditinggalkannya perbuatan selamanya.
Pendapat kedua: Puasa wishal dibolehkan jika mampu dilakukan. Inilah pendapat dari ‘Abdullah bin Az Zubair, bahkan diceritakan bahwa beliau melakukan puasa wishal sampai 15 hari. Demikian juga menjadi pendapat Abu Sa’id Al Khudri. Karena hal ini karena di hadist ada kalimat
….Jika salah seorang di antara kalian ingin melakukan wishal, maka lakukanlah hingga sahur (menjelang Shubuh).”…..
Yang artinya boleh karena ulama Ushul memahaminya
Suruhan sesudah larangan berarti kebolehan”.
Sebab yang lebih mudah dimengerti, ialah adanya kebolehan ter- sebut. Apa yang mudah dimengerti, adalah arti (maksud) yang sebenar- nya.
Contoh lagi
Dulu saya melarang kamu menziarahi kuburan, maka sekarang siarahilah”(Hadis riwayat Muslim).
Di sini ziarah kuburan tidak wajib, sebab adanya suruhan itu sesudahnya dilarang. Selesai
Pendapat ketiga: Hukum puasa wishal itu dirinci. Puasa wishal masih dibolehkan hingga waktu sahur. Namun menyegerakan berbuka puasa ketika tenggelam matahari itu lebih afdhol. Jika ditambah lebih dari itu, maka dihukumi makruh. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, sebagian ulama Malikiyah, Ibnu Khuzaimah dari ulama Syafi’iyah dan sekelompok ulama hadits. Selesai
Beberapa perbuatan nabi yang tidak secara khusus Nabi (pemilik syari’at)
Dan apabila dalil tersebut tidak ada, maka perbuatan tersebut tidak dikhususkan bagi Nabi. Sebab Allah swt telah berfirman, QS. Al-Ahzab : 21: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu”. Kemudian perbuatan tersebut diarahkan pada wajib menurut sebagian Ashhab Syafi’iyyah, baik bagi Nabi maupun bagi kita, karena hal ini lebih berhati-hati. Sebagian Ashhab ada yang menyatakan, diarahkan pada sunnah, karena hal ini lebih diyakini setelah adanya tuntutan. Sebagian Ashhab yang ain menyatakan ditangguhkan, karena dalil-dalil yang menjelaskan wajib dar sunnah saling bertentangan. Apabila perbuatan tersebut memiliki unsur selain sebagai pendekatan diri dan ketaatan, maka diarahkan pada mubah (boleh dilakukan), seperti makan dan minum, baik bagi nabi maupun bagi kita.
Penjelasan:
Perbuatan dari Nabi Muhammad saw ada dua jenis; A. Memiliki unsur pendekatan diri dan ketaatan, diperinci;
Tetap terhubung dan update terbaru, masukkan email sekarang